Written by cnathael@blog.com
Posted in:
sejarah
Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan maritim yang kuat di pulau
Sumatra dan banyak memberi pengaruh di
Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi
[1][2]. Dalam bahasa
Sansekerta,
sri berarti "bercahaya" dan
wijaya berarti "kemenangan"
[2]. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok,
I-tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan
[3][2][4][5]. Selanjut prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu
Prasasti Kedukan Bukit di
Palembang, bertarikh 682
[6][7]. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan
[2] diantaranya serangan dari raja
Dharmawangsa dari Jawa ditahun 990, dan tahun 1025 serangan
Rajendra Coladewa dari
Koromandel, selanjutnya tahun 1183 Sriwijaya dibawah kendali
Kerajaan Dharmasraya. Dan di akhir masa, kerajaan ini takluk di bawah kerajaan
Majapahit[8].
Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui keberadaan kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis
George Cœdès dari
École française d'Extrême-Orient[2]. Sekitar tahun 1992 hingga 1993,
Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di
Sungai Musi antara
Bukit Seguntang dan
Sabokingking (terletak di provinsi
Sumatra Selatan, Indonesia)
[2].
Historiografi
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis
George Coedès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa
Belanda dan
Indonesia.
[9] Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam
Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
[10]
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar
Nusantara selain
Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum
kolonialisme Belanda.
[9]
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya
Shih-li-fo-shih atau
San-fo-ts'i atau
San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut
Yavadesh dan
Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya
Zabag dan Khmer menyebutnya
Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan
[2].
Berikut ini adalah beberapa sumber sejarah yang diketahui berkaitan dengan Sriwijaya:
Prasasti yang berkaitan dengan Sriwijaya
-
Prasasti Ligor di
Thailand
-
Prasasti Kanton di Kanton
-
Prasasti Siwagraha
-
Prasasti Nalanda di India
-
Piagam Leiden di India
-
Prasasti Tanjor
-
Prasasti Grahi
-
Prasasti Padang Roco
-
Prasasti Srilangka
Sumber berita Tiongkok
- Kronik dari
Dinasti Tang
- Kronik
Dinasti Sung
- Kronik
Dinasti Ming
- Kronik Perjalanan
I Tsing
- Kronik
Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua
- Kronik
Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan
- Kronik
Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei
- Kronik
Ying-yai Sheng-lan oleh Ma Huan
Prasasti berbahasa Melayu Kuno
-
Prasasti Kedukan Bukit tanggal 16 Juni 682 Masehi di Palembang
-
Prasasti Talang Tuo tanggal 23 Maret 684 Masehi di Palembang
-
Prasasti Telaga Batu abad ke-7 Masehi di Palembang
-
Prasasti Palas Pasemah abad ke-7 Masehi di
Lampung Selatan
-
Prasasti Karang Brahi abad ke-7 Masehi di
Jambi
-
Prasasti Kota Kapur tanggal 28 Februari 686 Masehi di P.
Bangka
-
Prasasti Sojomerto abad ke-7 Masehi di
Kabupaten Batang,
Jawa Tengah
Pembentukan dan pertumbuhan
Peta pengaruh Sriwijaya di abad ke-10
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan
[11]. Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan
I-tsing.
Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tidak memperluas kekuasaannya diluar wilayah kepulauan
Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi
Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar
Palembang,
Sumatera. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama - daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok
[2] Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh
datu setempat.
Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.
Dari
Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di bawah kepemimpinan
Dapunta Hyang Jayanasa,
Kerajaan Minanga takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas
Malayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan
[2]. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera yaitu
Malayu dan
Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain
Tarumanegara dan
Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Melayu-Budha
Sailendra bermigrasi ke
Jawa Tengah dan berkuasa disana
[2]. Berdasarkan prasasti Kota Kapur, imperium menguasai bagian selatan Sumatera hingga
Lampung, mengontrol perdagangan di
Selat Malaka,
Laut China Selatan,
Laut Jawa, dan
Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan
[2]. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di
Thailand dan
Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja
Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi
sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja
Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan di abad yang sama
[2].
Setelah Dharmasetu,
Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun
candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825
[2].
Di abad ke-9, wilayah imperium Sriwijaya meliputi
Sumatera,
Sri Lanka,
Semenanjung Malaya,
Jawa Barat,
Sulawesi,
Maluku,
Kalimantan, dan
Filipina.
[12] Dengan penguasaan tersebut, kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang hebat hingga abad ke-13
[2].
Budha Vajrayana
Sebagai pusat pengajaran
Budha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok
I-tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di
Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, serta di abad ke-11,
Atisha, seorang sarjana Budha asal
Benggala yang berperan dalam mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet. I-tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan.
Selain itu Agama Buddha aliran
Buddha Hinayana dan
Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijay
Relasi dengan kekuatan regional
Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan Vietnam Selatan
[2]. Dominasi atas
Selat Malaka dan
Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Minanga merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya yang akhirnya dapat ditaklukkan pada abad ke-7.
Kerajaan Melayu ini, memiliki pertambangan
emas sebagai sumber ekonomi dan kata
Swarnnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Dan kemudian
Kedah juga takluk dan menjadi daerah bawahan
[13].
Pada masa awal,
Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa
Chaiya, di propinsi Surat Thani,
Thailand Selatan, sebagai ibu kota terakhir kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan
pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di
Benggala, dan sebuah prasasti berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti
Chola di India selatan cukup baik dan kemudian menjadi buruk setelah
Rajendra Coladewa naik tahta dan melakukan penyerangan di abad ke-11.
Masa keemasan
Di tahun 902, Sriwjaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir
dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan dengan Arab yang memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam kerajaan
[14].
Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya
dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama
Fujian,
kerajaan Min dan negeri kaya
Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis
Muslim Ibn Batutah sangat terkesan dengan kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi
Palembang (khususnya Bukit Seguntang),
Muara Jambi dan
Kedah.
Penurunan
Tahun 1025,
Rajendra Coladewa, raja Chola dari
Koromandel, India selatan, menaklukkan Kedah dan merampasnya dari Sriwijaya. Kemudian Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan berhasil penaklukan Sriwijaya, selama beberapa dekade berikutnya keseluruh imperium Sriwijaya berada dalam pengaruh Rajendra Coladewa. Meskipun demikian Rajendra Coladewa tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Setelah invasi tersebut, akhirnya mengakibatkan melemahnya hegemoni Sriwijaya, dan kemudian beberapa daerah bawahan membentuk kerajaan sendiri, dan kemudian muncul
Kerajaan Dharmasraya, sebagai kekuatan baru dan kemudian mencaplok kawasan semenanjung malaya dan sumatera termasuk Sriwijaya itu sendiri.
Antara tahun 1079 - 1088, orang Tionghoa masih mencatat bahwa San-fo-ts'i mengirimkan utusan dari Jambi dan Palembang. Tahun 1082 dan 1088, Jambi mengirimkan lebih dari dua duta besar ke China
[2].
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku
Chu-fan-chi[15]yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan
Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi;
Pong-fong (
Pahang),
Tong-ya-nong (
Terengganu),
Ling-ya-si-kia (
Langkasuka),
Kilantan (
Kelantan),
Fo-lo-an (muara sungai
Dungun daerah Terengganu sekarang),
Ji-lo-t'ing (
Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (
Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (
Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya),
Tan-ma-ling (
Tambralingga, Ligor, selatan Thailand),
Kia-lo-hi (Grahi,
Chaiya sekarang, selatan Thailand),
Pa-lin-fong (
Palembang),
Kien-pi (Jambi),
Sin-t'o (
Sunda),
Lan-wu-li (Lamuri di
Aceh), and
Si-lan (Kamboja)
[8] [16].
Pada tahun 1275,
Singhasari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, melakukan ekspansi dan menaklukan
bhumi malayu yang dikenal dengan nama
Ekspedisi Pamalayu. Dan selanjutnya pada tahun 1293, muncul
Majapahit sebagai pengganti Singhasari, dan setelah Ratu
Tribhuwana Wijayatunggadewi naik tahta, memberikan tanggung jawab kepada
Adityawarman, seorang peranakan
Melayu dan Jawa, untuk kembali menaklukkan
Swarnnabhumi pada tahun 1339. Dan dimasa itu nama Sriwijaya sudah tidak ada disebut lagi tapi telah diganti dengan nama
Palembang hal ini sesuai dengan
Pararaton yang menguraikan tentang
Sumpah Palapa dari
Gajah Mada.
Dalam
Kidung Pamacangah dan
Babad Arya Tabanan juga disebut 'Arya Damar' sebagai
bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada dalam menaklukkan Bali pada tahun 1343
[17], Prof. C.C. Berg menganggapnya identik dengan Adityawarman
[18].
Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas
selat Malaka dan
selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kamper, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Pengaruh budaya
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya
India, pertama oleh budaya
Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama
Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun
425 Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama
Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun
abad ke-7 hingga
abad ke-9. Sehingga secara langsung turut serta mengembangkan
kebudayaan Melayu di
Nusantara.
Pengaruh Islam
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang dikenal sebagai pusat agama Budha sangat dipengaruhi oleh pengunjung-pengunjung muslim, sehingga kerajaan ini menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra kelak, disaat melemahnya Sriwijaya.
Ditenggarai karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya maka, raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718
[19]. Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di
Suriah [14]. Bahkan disalah satu naskah surat adalah ditujukan kepada khalifah
Umar bin Abdul Aziz (717-720M) dengan permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da'i ke istana Sriwijaya.
Raja yang memerintah
Para Maharaja Sriwijaya
[2][8]
Date | King's name | Capital | Prasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa |
671 | Dapunta Hyang Sri Jayanasa | Srivijaya | Catatan perjalanan I-tsing di tahun 671-685 Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang Tuo (684), dan Kota Kapur Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa
|
702 | Sri Indravarman Che-li-to-le-pa-mo
| Srivijaya Shih-li-fo-shih
| Utusan ke Tiongkok 702-716, 724 Utusan ke Khalifah Muawiyah I dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
|
728 | Rudra Vikraman Lieou-t'eng-wei-kong
| Srivijaya Shih-li-fo-shih
| Utusan ke Tiongkok 728-742 |
743-760 |
|
| Tidak ada berita pada periode ini |
|
| Pindah ke Jawa | Wangsa Sailendra mengantikan Wangsa Sanjaya |
760 | Maharaja Wisnu Dharmmatunggadewa
| Jawa | Prasasti Ligor A, menaklukkan Kamboja. |
775 | Dharanindra Sanggramadhananjaya | Jawa | Piagam Kalasan 778 |
782 | Samaragrawira | Jawa | Prasasti Nalanda |
792 | Samaratungga | Jawa | Prasasti Karang Tengah, tahun 824. 825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur
|
|
|
| Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan |
835 | Balaputradewa | Srivijaya | Kehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke Srivijaya Prasasti Nalanda (860)
|
860-960 |
|
| Tidak ada berita pada periode ini |
960 | Sri Udayadityavarman Se-li-hou-ta-hia-li-tan
| Srivijaya San-fo-ts'i
| Utusan ke Tiongkok 960, & 962 |
980 | Hie-tche (Haji) | Srivijaya San-fo-ts'i
| Utusan ke Tiongkok 980 & 983 |
988 | Sri Cudamanivarmadeva Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
| Srivijaya San-fo-ts'i
| Utusan ke Tiongkok 988-992-1003 990 Jawa menyerang Srivijaya, pembangunan kuil untuk Kaisar China, Prasasti Tanjore atau Prasasti Leiden (1044), pemberian anugrah desa oleh raja-raja I
|
1008 | Sri Maravijayottungga Se-li-ma-la-pi
| Srivijaya San-fo-ts'i
| Utusan ke Tiongkok 1008 |
1017 | Sumatrabhumi | Srivijaya San-fo-ts'i
| Utusan ke Tiongkok 1017 |
1025 | Sangramavijayottungga | Srivijaya San-fo-ts'i
| Diserang oleh Rajendra Coladewa Prasasti Chola pada candi Rajaraja, Tanjore
|
1028 |
|
| Dibawah Dinasti Rajendra Coladewa dari Koromandel |
1079 | Rajendra Dewa Kulottungga Ti-hua-ka-lo
| Palembang Pa-lin-fong
| Utusan ke Tionkok 1079 Memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton)
|
1100 | Rajendra II | Palembang Pa-lin-fong
|
|
1156 | Rajendra III | Palembang Pa-lin-fong
| Piagam Larger Leyden Plates |
1183 |
|
| Dibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu |
1183-1286 | Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa | Dharmasraya | Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand |
1286-1293 | Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa | Dharmasraya | Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntur |
1293-1339 |
|
| Tidak ada berita pada periode ini |
1339 |
| Palembang | Dibawah Dinasti Majapahit |
0 komentar:
Posting Komentar