Written by cnathael@blog.com
Posted in:
Biografi
Mr. Herman Willem Daendels (lahir di
Hattem,
21 Oktober 1762 – meninggal di
Ghana,
2 Mei 1818 pada umur 55 tahun), adalah seorang
politikus Belanda yang merupakan
Gubernur-Jendral Hindia-Belanda yang ke-36. Ia memerintah antara tahun
1808 –
1811. Masa itu
Belanda sedang dikuasai oleh
Perancis.
Masa kecil
Herman Willem Daendels lahir di
Hattem,
Belanda pada tanggal 21 Oktober 1762 sebagai putra Burchard Johan Daendels, sekretaris
walikota dan Josina Christina Tulleken. Ketika menginjak dewasa, ia belajar hukum di Universitas di
Harderwijk, yang sekarang sudah tidak ada lagi. Ia lulus pada tanggal
10 April 1783.
Masa dewasa
Pada tahun
1780 dan
1787 ia ikut para kumpulan pemberontak di Belanda dan kemudian melarikan diri ke
Perancis. Di sana ia menyaksikan dari dekat
Revolusi Perancis dan lalu menggabungkan diri dengan pasukan Batavia yang republikan. Akhirnya ia mencapai pangkat
Jendral dan pada tahun
1795 ia masuk
Belanda dan masuk tentara
Republik Batavia dengan pangkat Letnan-Jendral. Sebagai kepala kaum Unitaris, ia ikut mengurusi disusunnya Undang-Undang Dasar Belanda yang pertama. Bahkan ia mengintervensi secara militer selama dua kali. Tetapi invasi orang
Inggris dan
Rusia di provinsi
Noord-Holland berakibat buruk baginya. Ia dianggap kurang tanggap dan diserang oleh berbagai pihak. Akhirnya ia kecewa dan mengundurkan diri dari tentara pada tahun
1800. Ia memutuskan untuk menjadi petani dan peternak saja di
Heerde,
Gelderland.
Karir
Pada tahun
1806 ia dipanggil oleh Raja Belanda, Raja Louis (
Koning Lodewijk) untuk berbakti kembali di tentara Belanda. Ia ditugasi untuk mempertahankan
provinsi Friesland dan
Groningen dari serangan
Prusia. Lalu setelah sukses, pada tanggal
28 Januari 1807 atas saran
Kaisar [[Napoleon Bonali], ia dikirim ke
Hindia-Belanda sebagai
Gubernur-Jendral.
Daendels di Hindia-Belanda
Maka setelah perjalanan yang panjang melalui
Pulau Kanari, Daendels tiba di
Batavia pada tanggal
5 Januari 1808 dan menggantikan Gubernur-Jendral
Albertus Wiese. Daendels diserahi tugas terutama untuk melindungi pulau
Jawa dari serangan tentara
Inggris. Jawa adalah satu-satunya daerah koloni Belanda-Perancis yang belum jatuh ke tangan Inggris setelah
Isle de France dan
Mauritius pada tahun
1807. Namun demikian beberapa kali armada Inggris telah muncul di perairan utara laut Jawa bahkan di dekat
Batavia. Pada tahun
1800, armada Inggris telah memblokade Batavia dan menghancurkan galangan kapal Belanda di
Pulau Onrust sehingga tidak berfungsi lagi. Pada tahun
1806, armada kecil Inggris di bawah
laksamana Pellew muncul di
Gresik. Setelah blokade singkat, pimpinan militer Belanda,
Von Franquemont memutuskan untuk tidak mau menyerah kepada Pellew. Ultimatum Pellew untuk mendarat di
Surabaya tidak terwujud, tetapi sebelum meninggalkan Jawa Pellew menuntut Belanda agar membongkar semua pertahanan meriam di Gresik dan dikabulkan. Ketika mendengar hal ini, Daendels menyadari bahwa kekuatan Perancis-Belanda yang ada di Jawa tidak akan mampu menghadapi kekuatan armada Inggris. Maka iapun melaksanakan tugasnya dengan segera. Tentara Belanda diisinya dengan orang-orang
pribumi, ia membangun
rumah sakit-rumah sakit dan tangsi-
tangsi militer baru. Di
Surabaya ia membangun sebuah pabrik senjata, di
Semarang ia membangun pabrik meriam dan di
Batavia ia membangun
sekolah militer. Kastil di
Batavia dihancurkannya dan diganti dengan benteng di
Meester Cornelis (kini
Jatinegara). Di Surabaya dibangunnya
Benteng Lodewijk. Proyek utamanya, yaitu
Jalan Raya Pos, sebenarnya dibangunnya juga karena manfaat militernya, yaitu untuk mengusahakan tentara-tentaranya bergerak dengan cepat.
Terhadap raja-raja di Jawa, ia bertindak keras, tetapi kurang strategis sehingga mereka menyimpan dendam kepadanya. Di mata Daendels, semua raja pribumi harus mengakui raja Belanda sebagai junjungannya dan minta perlindungan kepadanya. Bertolak dari konsep ini, Daendels merubah jabatan pejabat Belanda di kraton Solo dan kraton Yogya dari residen menjadi minister. Minister tidak lagi bertindak sebagai pejabat Belanda melainkan sebagai wakil raja Belanda dan juga wakilnya di kraton Jawa. Oleh karena itu Daendels membuat peraturan tentang perlakuan raja-raja Jawa kepada para Minister di kratonnya. Jika di zaman VOC para residen Belanda diperlakukan sama seperti para penguasa daerah yang menghadap raja-raja Jawa, dengan duduk di lantai dan mempersembahkan sirih sebagai tanda hormat kepada raja Jawa, Minister tidak layak lagi diperlakukan seperti itu. Minister berhak duduk sejajar dengan raja, memakai payung seperti raja, tidak perlu membuka topi atau mempersembahkan sirih kepada raja, dan harus disambut oleh raja dengan berdiri dari tahtanya ketika Minister datang di kraton. Ketika bertemu di tengah jalan dengan raja, Minister tidak perlu turun dari kereta tetapi cukup membuka jendela kereta dan boleh berpapasan dengan kereta raja. Meskipun di Surakarta Sunan Paku Buwono IV menerima ketentuan ini, di Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono II tidak mau menerimanya. Daendels harus menggunakan tekanan agar Sultan Yogya bersedia melaksanakan aturan itu.Tetapi dalam hati kedua raja itu tetap tidak terima terhadap perlakuan Daendels ini. Jadi ketika orang-orang
Inggris datang, maka mereka bersama-sama dengan para raja "mengkhianati" orang Belanda.
Berbeda dengan apa yang dipercaya orang selama ini, Daendels selama masa pemerintahannya memang memerintahkan pembangunan jalan di Jawa tetapi tidak dilakukan dari Anyer hingga Panarukan. Jalan antara Anyer dan Batavia sudah ada ketika Daendeks tiba. Oleh karena itu menurut het Plakaatboek van Nederlandsch Indie jilid 14, Daendels mulai membangun jalan dari Buitenzorg menuju Cisarua dan seterusnya sampai ke Sumedang.Pembangunan dimulai bulan Mei 1808. Di Sumedang, proyek pembangunan jalan ini terbentur pada kondisi alam yang sulit karena terdiri atas batuan cadas, akibatnya para pekerja menolak melakukan proyek tersebut dan akhirnya pembangunan jalan macet. Akhirnya Pangeran Kornel turun tangan dan langsung menghadap Daendels untuk meminta pengertian atas penolakan para pekerja. Ketika mengetahui hal ini, Daendels memerintahkan komandan pasukan zeni Brigadir Jenderal von Lutzow untuk mengatasinya. Berkat tembakan artileri, bukit padas berhasil diratakan dan pembangunan diteruskan hingga Karangsambung. Sampai Karangsambung, proyek pembangunan itu dilakukan dengan kerja upah. Para bupati pribumi diperintahkan menyiapkan tenaga kerja dalam jumlah tertentu dan masing-masing setiap hari dibayar 10 sen per orang dan ditambah dengan beras serta jatah garam setiap minggu.
Setibanya di Karangsambung pada bulan Juni 1808, dana tiga puluh ribu gulden yang disediakan Daendels untuk membayar tenaga kerja ini habis dan di luar dugaannya, tidak ada lagi dana untuk membiayai proyek pembangunan jalan tersebut. Ketika Daendels berkunjung ke Semarang pada pertengahan Juli 1808, ia mengundang semua bupati di pantai utara Jawa. Dalam pertemuan itu Daendels menyampaikan bahwa proyek pembangunan jalan harus diteruskan karena kepentingan mensejahterakan rakyat (H.W. Daendels, Staat van Nederlandsch Indische Bezittingen onder bestuur van Gouverneur Generaal en Marschalk H.W. Daendels 1808-1811, 's Gravenhage, 1814). Para bupati diperintahkan menyediakan tenaga kerja dengan konsekuensi para pekerja ini dibebaskan dari kewajiban kerja bagi para bupati tetapi mencurahkan tenaganya untuk membangun jalan. Sementara itu para bupati harus menyediakan kebutuhan pangan bagi mereka. Semua proyek ini akan diawasi oleh para prefect yang merupakan kepala daerah pengganti residen VOC. Dari hasil kesepakatan itu, proyek pembangunan jalan diteruskan dari Karangsambung ke Cirebon. Pada bulan Agustus 1808 jalan telah sampai di Pekalongan. Sebenarnya jalan yang menghubungkan Pekalongan hingga Surabaya telah ada, karena pada tahun 1806 Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas Engelhard telah menggunakannya untuk membawa pasukan Madura dalam rangka menumpas pemberontakan Bagus Rangin di Cirebon (Indische Tijdschrift, 1850). Jadi Daendels hanya melebarkannya. Tetapi ia memang memerintahkan pembukaan jalan dari Surabaya sampai Panarukan sebagai pelabuhan ekspor paling ujung di Jawa Timur saat itu.
Kontroversi terjadi tentang pembangunan jalan ini. Pada masa Daendels banyak pejabat Belanda yang dalam hatinya tidak menyukai Perancis tetapi tetap setia kepada dinasti Oranje yang melarikan diri ke Inggris. Namun mereka tidak bisa berbuat banyak karena penentangan terhadap Daendels berarti pemecatan dan penahanan dirinya. Hal itu menerima beberapa orang pejabat seperti Prediger (Residen Manado), Nicolaas Engelhard (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) dan Nederburgh (bekas pimpinan Hooge Regeering). Mereka yang dipecat ini kemudian kembali ke Eropa dan melalui informasi yang dikirim dari para pejabat lain yang diam-diam menentang Daendels (seperti Peter Engelhard Minister Yogya, F. Waterloo Prefect Cirebon, F. Rothenbuhler, Gubernur Ujung Timur Jawa), mereka menulis keburukan Daendels. Di antara tulisan mereka terdapat proyek pembangunan jalan raya yang dilakukan dengan kerja rodi dan meminta banyak korban jiwa. Sebenarnya mereka sendiri tidak berada di Jawa ketika proyek pembangunan jalan ini dibuat. Ini terbukti dari penyebutan pembangunan jalan antara Anyer dan Panarukan, padahal Daendels membuatnya dimulai dari Buitenzorg. Sayang sekali arsip-arsip mereka lebih banyak ditemukan dan disimpan di arsip Belanda, sementara data-data yang dilaporkan oleh Daendels atau para pejabat yang setia kepadanya (seperti J.A. van Braam, Minister Surakarta) tidak ditemukan kecuali tersimpan di Perancis karena Daendels melaporkan semua pelaksanaan tugasnya kepada Napoleon setelah penghapusan Kerajaan Belanda pada tahun 1810. Sejarawan Indonesia yang banyak mengandalkan informasi dari arsip Belanda ikut berbuat kesalahan dengan menerima kenyataan pembangunan jalan antara Anyer-Panarukan melalui kerja rodi.
Kontroversi lain yang menyangkut pembangunan jalan ini adalah tidak pernah disebutkannya manfaat yang diperoleh dari jalan tersebut oleh para sejarawan dan lawan-lawan Daendels. Setelah proyek pembuatan jalan itu selesai, hasil produk kopi dari pedalaman Priangan semakin banyak yang diangkut ke pelabuhan Cirebon dan Indramayu padahal sebelumnya tidak terjadi dan produk itu membusuk di gudang-gudang kopi Sumedang, Limbangan, Cisarua dan Sukabumi. Begitu juga dengan adanya jalan ini, jarak antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari bisa disingkat menjadi 7 hari. Ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat yang oleh Daendels kemudian dikelola dalam dinas pos.
Di sisi lain dikatakan bahwa Daendels mebuat
birokrasi menjadi lebih efisien dan mengurangi
korupsi. Tetapi ia sendiri dituduh korupsi dan memperkaya diri sendiri. Akhirnya ia dipanggil pulang oleh
Perancis dan kekuasaan harus diserahkan kepada
Jan Willem Janssens, seperti diputuskan oleh
Napoleon Bonaparte.Pemanggilan pulang ini dipertimbangkan oleh Napoleon sendiri. Dalam rangka penyerbuan ke Rusia, Napoleon memerlukan seorang jenderal yang handal dan pilihannya jatuh kepada Daendels. Dalam korps tentara kebanggaan Perancis (Grande Armee), ada kesatuan Legiun Asing (Legion Estranger) yang terdiri atas kesatuan bantuan dari raja-raja sekutu Perancis. Di antaranya adalah pasukan dari Duke of Wurtemberg yang terdiri atas tiga divisi (kira-kira 30 ribu tentara). Tentara Wurtemberg ini sangat terkenal sebagai pasukan yang berani, pandai bertempur tetapi sulit dikontrol karena latar belakang mereka sebagai tentara bayaran pada masa sebelum penaklukan oleh Perancis. Napoleon mempercayakan kesatuan ini kepada Daendels dan dianugerahi pangkat Kolonel Jenderal.
Ketika tiba di Paris dari perjalanannya di Batavia, Daendels disambut sendiri oleh Napoleon di istana Tuiliries dengan permadani merah. Di sana ia diberi instruksi untuk memimpin kesatuan Wurtemberg dan terlibat dalam penyerbuan ke Rusia pada tanggal 22 Juni 1812.
Kembali ke Eropa
Sekembali Daendels di
Eropa, Daendels kembali bertugas di tentara
Perancis. Dia juga ikut tentara Napoleon berperang ke
Rusia. Setelah Napoleon dikalahkan di
Waterloo dan
Belanda merdeka kembali, Daendels menawarkan dirinya kepada Raja
Willem I, tetapi Raja Belanda ini tidak terlalu suka terhadap mantan Patriot dan tokoh revolusioner ini. Tetapi biar bagaimanapun juga, pada tahun
1815 ia ditawari pekerjaan menjadi Gubernur-Jendral di
Ghana. Ia meninggal dunia di sana akibat
malaria pada tanggal
8 Mei 1818.
0 komentar:
Posting Komentar