Written by cnathael@blog.com
Posted in:
Biografi
Untung Suropati (lahir: Bali, 1660 – wafat: Bangil, Jawa Timur, 5 Desember 1706) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang berjuang di Pulau Jawa. Ia telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
Asal-Usul Si Untung
Nama aslinya tidak diketahui. Menurut
Babad Tanah Jawi ia berasal dari
Bali yang ditemukan oleh Kapten van Beber, seorang perwira
VOC yang ditugaskan di
Makasar.
Kapten van Beber kemudian menjualnya kepada perwira
VOC lain di
Batavia yang bernama Moor. Sejak memiliki budak baru, karir dan kekayaan Moor meningkat pesat. Anak kecil itu dianggap pembawa keberuntungan sehingga diberi nama Si Untung.
Ketika Untung berumur 20 tahun, ia dimasukkan penjara oleh Moor karena berani menikahi putrinya yang bernama Suzane. Untung kemudian menghimpun para tahanan dan berhasil kabur dari penjara dan menjadi buronan.
Mendapat Nama Surapati
Pada tahun 1683
Sultan Ageng Tirtayasa raja
Banten dikalahkan
VOC. Putranya yang bernama
Pangeran Purbaya melarikan diri ke Gunung Gede. Ia memutuskan menyerah tetapi hanya mau dijemput perwira
VOC pribumi.
Kapten Ruys (pemimpin benteng Tanjungpura) berhasil menemukan kelompok Untung. Mereka ditawari pekerjaan sebagai tentara
VOC daripada hidup sebagai buronan. Untung pun dilatih ketentaraan, diberi pangkat letnan, dan ditugasi menjemput
Pangeran Purbaya.
Untung menemui
Pangeran Purbaya untuk dibawa ke Tanjungpura. Datang pula pasukan Vaandrig Kuffeler yang memperlakukan
Pangeran Purbaya dengan kasar. Untung tidak terima dan menghancurkan pasukan Kuffeler di Sungai Cikalong, 28 Januari 1684.
Pangeran Purbaya tetap menyerah ke Tanjungpura, tapi istrinya yang bernama Gusik Kusuma meminta Untung mengantarnya pulang ke
Kartasura. Untung kini kembali menjadi buronan
VOC. Antara lain ia pernah menghancurkan pasukan Jacob Couper yang mengejarnya di desa Rajapalah.
Ketika melewati
Cirebon, Untung bertengkar dengan Raden Surapati anak angkat sultan. Setelah diadili, terbukti yang bersalah adalah Suropati. Surapati pun dihukum mati. Sejak itu nama Surapati oleh
Sultan Cirebon diserahkan kepada Untung.
Terbunuhnya Kapten Tack
Untung alias Suropati tiba di
Kartasura mengantarkan Raden Ayu Gusik Kusuma pada ayahnya, yaitu Patih Nerangkusuma. Nerangkusuma adalah tokoh anti
VOC yang gencar mendesak
Amangkurat II agar mengkhianati perjanjian dengan bangsa
Belanda itu. Nerangkusuma juga menikahkan Gusik Kusuma dengan Suropati.
Kapten Francois Tack (perwira
VOC senior yang ikut berjasa dalam penumpasan
Trunajaya dan
Sultan Ageng Tirtayasa) tiba di
Kartasura bulan Februari 1686 untuk menangkap Suropati.
Amangkurat II yang telah dipengaruhi Nerangkusuma, pura-pura membantu
VOC.
Pertempuran pun meletus di halaman keraton. Pasukan
VOC hancur. Sebanyak 75 orang
Belanda tewas. Kapten Tack sendiri tewas di tangan untung suropati.Tentara Belanda yang masih hidup menyelamatkan diri ke benteng mereka.
Bergelar Tumenggung Wiranegara
Amangkurat II takut pengkhianantannya terbongkar. Ia merestui Suropati dan Nerangkusuma merebut
Pasuruan. Di kota itu, Suropati mengalahkan bupatinya, yaitu Anggajaya, yang kemudian melarikan diri ke
Surabaya. Bupati
Surabaya bernama
Adipati Jangrana tidak melakukan pembalasan karena ia sendiri sudah kenal dengan Suropati di
Kartasura.
Untung Suropati pun mengangkat diri menjadi bupati
Pasuruan bergelar Tumenggung Wiranegara.
Pada tahun 1690
Amangkurat II pura-pura mengirim pasukan untuk merebut
Pasuruan. Tentu saja pasukan ini mengalami kegagalan karena pertempurannya hanya bersifat sandiwara sebagai usaha mengelabui
VOC.
Kematian Untung Suropati
Sepeninggal
Amangkurat II tahun 1703, terjadi perebutan takhta
Kartasura antara
Amangkurat III melawan
Pangeran Puger. Pada tahun 1704
Pangeran Puger mengangkat diri menjadi
Pakubuwana I dengan dukungan
VOC. Tahun 1705
Amangkurat III diusir dari
Kartasura dan berlindung ke
Pasuruan.
Pada bulan September 1706 gabungan pasukan
VOC,
Kartasura,
Madura, dan
Surabaya dipimpin Mayor Goovert Knole menyerbu
Pasuruan. Pertempuran di benteng Bangil akhirnya menewaskan Untung Suropati alias Wiranegara tanggal 17 Oktober 1706. Namun ia berwasiat agar kematiannya dirahasiakan.
Makam Suropati pun dibuat rata dengan tanah. Perjuangan dilanjutkan putra-putranya dengan membawa tandu berisi Suropati palsu.
Pada tanggal 18 Juni 1707 Herman de Wilde memimpin ekspedisi mengejar
Amangkurat III. Ia menemukan makam Suropati yang segera dibongkarnya. Jenazah Suropati pun dibakar dan abunya dibuang ke laut.
Perjuangan Putra-Putra Suropati
Putra-putra Untung Suropati, antara lain Raden Pengantin, Raden Suropati, dan Raden Suradilaga memimpin pengikut ayah mereka (campuran orang
Jawa dan
Bali). Sebagian dari mereka ada yang tertangkap bersama
Amangkurat III tahun 1708 dan ikut dibuang ke
Srilangka.
Sebagian pengikut Untung Suropati bergabung dalam pemberontakan Arya Jayapuspita di
Surabaya tahun 1717. Pemberontakan ini sebagai usaha balas dendam atas dihukum matinya
Adipati Jangrana yang terbukti diam-diam memihak Suropati dalam perang tahun 1706.
Setelah Jayapuspita kalah tahun 1718 dan mundur ke
Mojokerto, pengikut Suropati masih setia mengikuti. Mereka semua kemudian bergabung dalam pemberontakan Pangeran Blitar menentang
Amangkurat IV yang didukung
VOC tahun 1719. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan tahun 1723. Putra-putra Untung Suropati dan para pengikutnya dibuang
VOC ke
Srilangka.
Untung Suropati dalam Karya Sastra
Kisah Untung Suropati yang legendaris cukup banyak ditulis dalam bentuk sastra. Selain
Babad Tanah Jawi, juga terdapat antara lain
Babad Suropati.
Penulis Hindia Belanda
Melati van Java (nama samaran dari Nicolina Maria Sloot) juga pernah menulis roman berjudul
Van Slaaf Tot Vorst, yang terbit pada tahun
1887. Karya ini kemudian diterjemahkan oleh FH Wiggers dan diterbitkan tahun
1898 dengan judul
Dari Boedak Sampe Djadi Radja. Penulis pribumi yang juga menulis tentang kisah ini adalah sastrawan
Abdul Muis dalam novelnya yang berjudul
Surapati.
Kepustakaan
- Abdul Muis. 1999. Surapati. cet. 11. Jakarta: Balai Pustaka
- Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
0 komentar:
Posting Komentar